Politik Indonesia memang
diwarnai dengan pasang surut masalah serta kekuasaan. kata pengamat politik “
memang inilah asiknya “. Demokrasi Indonesia telah melahirkan pemimpin-
pemimpin yang luar biasa, seperti Jokowi , Basuki Cahya Purnama atau Ahok, Risma,
Ridwan kamil,dll. Mereka adalah murni pilihan suara rakyat.
Manisnya kepemimpinan di
daerah membuat daerah lain iri akan kemajuan seperti daerah lainnya. Sehingga
masyarakat terdorong sendiri oleh berita positif daerah yang selalu muncul di
berita nasional. Tetapi Demokrasi Indonesia kini sedang mengalami siklus yang
hebat. Akhir tahun lalu sampai detik ini, Indonesia masih kuat akan
masalah-masalah politik. Bukan mengenai rakyat lagi, tetapi sudah mementingkan
pihak internal partai masing-masing.
Dari perbedaan
pendapat, saling “menjatuhkan” kekuasaan di internal partai , hingga penyakit
keturunan yakni kasus Korupsi. Kini rakyat Indonesia menjadi bingung dengan
banyaknya sandiwara politik yang ada, pasalnya setiap partai menunjukan
sandiwara mereka dengan kasus berbeda-beda, yang semakin hari semakin menarik
saja.
Sebenarnya pula
disinilah masyarakat bisa memanfaatkan moment untuk menilai antara partai
politik yang pro rakyat sama yang hanya bermain kekuasaan untuk menunjukan
elektabilitas mereka sendiri saja. Kini kekuasaan bukan lagi sebuah pengabdian
tetapi di buru hanya untuk menunjukan diri, siapa yang kuat siapalah yang
menang.
Jika kita mengacu akan
arti Partai Politik pada sistem demokrasi bahwa partai politik hanyalah agen
sosialisasi demokrasi. Tetapi kenyataannya kini partai politik bukan lagi
sebagai agen demokrasi, tetapi berkuasa ingin “menjatuhkan” demokrasi itu
sendiri.
Partai politik harus
mensosialisasikan ilmu, tahap sampai struktur demokrasi ke masyarakat luas.
Bukan perkara hanya pemilu untuk mencoblos ataupun menyontreng sekalipun noken.
Tetapi masyarakat juga ingin tau dan paham arti partai politik dan Demokrasi
sesungguhnya. Betul apa yang dikatakan Nowela pada kasus sengketa Pilpres 2014
“ .. Jangan bodoh-bodohi kami terus…” ujar nowela ke para hakim MK.
Pernyataan itu benar
adanya, tugas sosialisasi itu bukan hanya milik KPU saja tetapi Partai Politik
juga. Seharusnya Mendagri dan pihak terkait harus mengkaji tentang Pendidikan
Demokrasi ke masyarakat lewat partai politik. Sehingga Fungsi jelas Partai
politik benar-benar maksimal. Bahayanya jika masyarakat tidak kritis akan
Demokrasi, ditakutkan jika ada Partai Politik yang hanya ingin bermain- main di
taman istana saja, dan hanya memainkan jutaan nyawa rakyat Indonesia hanya akan
menimbulkan virus permasalahan.
Menanggapi UU Pilkada
yang pernah muncul di bangsa ini, memang bisa dikatakan mempunyai banyak sisi
pandangan. Pertama, Pilkada dipilih oleh DPRD apakah hasilnya akan optimal
? jawabanya belum tentu bahkan tidak, kita lihat kinerja DPRD, apakah mereka
optimal. Inilah pertarungan antara Suara rakyat dengan suara
dewan. Kedua ,bukan berarti Korupsi akan hilang, sama seperti sidang
di pengadilan.
Bisa saja sandiwara uang
dibelakang sidang, dan main mulus di depan sidang, dan akan hancur
dibelakangan. Ketiga, bentuk Pemerintah inilah yang hanya memajakan
rakyatnya. Rakyat dipaksa hanya sebagai penonton, disuguhi hasil seleksi
pemimpin yang sesuai dengan hati mereka (anggota dewan).
Hak demokrasi di daerah
hilang kembali. Dan keempat memang betul baiknya UU Pilkada menghapus
juga skat warna politik di masyarakat, tetapi ingat kembali bahwa ini bentuk
bahwa masyarakat tidak bisa ikut andil dalam pesta demokrasi di daerah mereka
masing-masing. Memang setiap kebijakan pasti ada baik dan buruknya, dalam
prinsipnya kebijakan akan matang jika semua bersatu bermusyawaran untuk
mufakat.
Logika sederhana
kalau Calon Legislatif tersebut berasal dari Salah satu partai politik yang
memiliki banyak anggota partai koalisi, pasti akan ada hati untuk memilih
ataupun menjadikan calon tersebut menjadi yang terpilih, bukan dasar dari
kapabilitas personal, tetapi berdasarkan ingin untuk penguasaan
sebuah kelompok. Apalagi di tahun ke depan akan ada ratusan Pemilukada di Indonesia.
Harapan pasti bahwa
Pemilukada harus dipilih oleh #SuaraRakyat bukan #SuaraDewan. Masyarakat yang
memilih pati akan senantiasa mengawalnya di pemerintahannya nanti. Sehingga
komitmen bersama untuk memajukan daerah serta mensejahterakan masyarakat akan
menjadi cita-cita utama demokrasi langsung tersebut.
Berbicara pada kasus
saling menjatuhkan di internal partai menunjukan bahwa ada sebuah skema
sandiwara dan ketidaksukaan pada petinggi partai mereka masing-masing. jika
internal saja masih semrawut apakah niat untuk memenangkan Pileg sekalipun
Pilpres seperti di kampanye lalu masih ada ? hanya sebuah senyuman sindiran
yang akan menilai itu.
Masyarakat sekarang
sudah pintar dengan pengetahuan politik, namun harapannya dibarengi juga dengan
bijak dalam berpolitik. Jangan sampai politik dijadikan senjata perang antar
saudara. Politik itu baik, bahkan bisa merubah nasib suatu bangsa menjadi
sejahtera. (Luky Antoro – Dept. Kajian Strategi dan Riset IMABA)